Dunia kerja : Manusia : Aset atau Biaya?Parts 1

Monday, 8 November 2010


By: Eileen Rachman & Sylvina Savitri
Informasi kerja, cari kerja

Bila dalam perusahaan ada wacana mengenai cost center dan profit center, beberapa divisi tentu akan merasa sedikit kecil hati, karena dianggap sebagai cost center dan bukan ‘breadwinner‘ perusahaan. Misalnya saja, divisi IT yang hampir  eksis  di setiap perusahaan, meskipun “jasa”-nya tidak sedikit, biasanya dianggap sebagai “orang belakang”, karena kontribusinya tidak langsung terlihat dalam mencetak keuntungan. Bagaimana dengan divisi sumber daya manusia? Jelas-jelas dalam neraca, ‘cost’ terbesar dari perusahaan adalah gaji. Bahkan, tak jarang biaya sumber daya manusia bisa mencapai 65% dari keseluruhan biaya perusahaan. Tentunya tidak mungkin biaya-biaya pengembangan sumberdaya manusia, mulai dari gaji, rekutmen, training dan fasilitas karyawan dimasukkan dalam ‘profit center’, bukan? Dengan kondisi ini, di mana letak HRD? Apakah lebih dipandang sebagai “beban”? Atau, sudah berperan sebagai “pahlawan” penggerak produktivitas? Dengan besarnya biaya yang dikelola oleh divisi HR, kita tentu berharap divisi ini bisa secara nyata memberi, bahkan melipatgandakan “keuntungan” yang telah dikeluarkan, bagi kemajuan individu dan pertumbuhan organisasi.

Di satu sisi, semua orang setuju bahwa “manusia adalah aset terbesar perusahaan”. Tanpa manusia, perusahaan tidak akan jalan. Mari kita evaluasi, apakah divisi HRD di organisasi kita sudah diperlakukan sebagai pusat strategi perusahaan? Apakah perusahaan meletakkan kebijakan dan strategi pengembangan sumber daya manusia di atas strategi dan manuver lain? Apakah dalam visi pimpinan perusahaan digambarkan tipe manusia dan perilaku manusianya di 10 tahun mendatangnya? Bagaimana bisa menjamin inovasi, pengembangan ketrampilan dan pengetahuan bila divisi SDM hanya dianggap sebagai divisi yang mengurus ketertiban, gaji dan kenaikan pangkat? Betapa kita sering mengalami, seorang yang sedang berada di kelas pelatihan, “dipaksa” meninggalkan kelas karena urusan ‘urgent’ menyangkut soal bisnis. Bukankah pelatihan juga sering dianggap sebagai upaya menghabiskan budget di akhir tahun  dan bukan sebagai upaya utama di awal tahun? Kita juga bisa melihat bahwa ketidakmampuan manajer untuk melakukan ‘coaching’ tidak dianggap sebagai hal yang krusial untuk diperbaiki dibandingkan dengan menghasilkan angka penjualan. Apa yang menyebabkan pernyataan dan  keyakinan bahwa “manusia adalah aset terbesar di perusahaan” sering tidak dibarengi dengan sikap terhadap pengembangan sumberdaya manusianya sendiri?

0 comments: